Rabu, 12 September 2012

Talendu' Opa Siulu' (silahkan mampir di Tana Toraja)




Talendu’ Opa (silahkan mampir)

Banyak kalangan remaja saat ini sudah tidak kenal dengan budaya daerahnya sendiri, mereka lebih banyak meniru budaya luar daripada budayanya sendiri. Padahal budaya dalam daerah justru lebih menarik, dapat menambah wawasan bahkan bisa menjadi sumber pendapatan daerah atau negara sekalipun.  Khususnya di kabupaten Tana Toraja ini. Nah, kali ini kita akan membahas sedikit dari budaya yang ada di daerah kita ini.
Pertama, kita akan berkenalan dengan daerah ini, kabupaten Tana Toraja merupakan kabupaten yang letaknya berada di provinsi Sulawesi  Selatan,  ± 360 km dari kota Makassar. Letak astronomisnya berada pada 119°-120° BT dan 20°-30° LS, dengan ketinggian antara 300-2.880 meter di atas permukaan laut.
 


Nama Toraja mulanya diberikan oleh orang-orang dari Luwu dan Bugis Sidendreng. Orang Luwu menyebutnya “To Riajang” yang artinya orang yang berdiam di sebelah barat sedangkan orang Sidendreng menamakan daerah ini dengan sebutan “To Riaja” yang mempunyai arti orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Adapula versi lain yang menyebutnya “Toraya” yang berasal dari kata “To”yang berarti Tau (orang), “Raya” yang berasal dari kata “Maraya” (besar) yang artinya orang-orang besar atau bangsawan. Lama kelamaan penyebutannya menjadi “Toraja” dan kata “Tana” yang berarti negeri, sehingga sampai saat ini dikenal dengan sebutan ‘Tana Toraja”.
Mayoritas penduduk di daerah ini menganut agama Kristen Protestan (60 %), Katolik (30%), Islam (8%),dan Aluk Todolo (2%). Ada yang bekerja sebagai petani, peternak, pegawai negeri ataupun swasta. Sebagian besar penduduk Toraja dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Toraja (Sa’dan ) sebagai bahasa yang paling dominan dalam percakapan antar warga masyarakat setempat, tetapi dalam perkembangannya saat ini bahasa Indonesia digunakan masyarakat Toraja sebagai  bahasa pengantar dalam pergaulan. Bahasa Toraja(Sa’dan) bahkan menjadi salah satu mata pelajaran muatan lokal yang di ajarkan di sekolah-sekolah dasar.
 
Di Tana Toraja terdapat rumah adat yang biasanya di kenal dengan sebutan Tongkonan. Tongkonan sendiri berasal dari kata “Tongkon” yang artinya duduk. Tongkonan sebagai rumah adat bukan milik perseorangan, tetapi milik dari satu kelompok keluarga atau marga. Di rumah adat ini terdapat ornamen seperti “Kabongo’” yaitu kepala kerbau yang dipahat dari kayu cendana atau kayu pohon nangka dan di lengkapi dengan tanduk kerbau asli. Adapula “Katik” yaitu bentuk kepala ayam yang berkokok atau bentuk ular naga yang merupakan simbol dari hewan yang berkuasa dan berkekuatan besar.
Selain Tongkonan adapula Alang Sura’ atau dalam bahasa Indonesia disebut lumbung padi. Alang Sura’ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tongkonan. Tongkonan dan Alang Sura’ di buat saling berhadapan (rumah Tongkonan menghadap ke utara dan Alang Sura’ menghadap ke selatan). Fungsi dari Alang Sura’ tidak lain ialah untuk menyimpan padi atau barang-barang warisan keluarga. Bagian bawah Alang mempunyai lantai yang digunakan sebagai tempat duduk dan dapat pula dijadikan tempat tinggal pada waktu ada upacara yang sedang berlangsung di Tongkonan tersebut.
Adapun ornamen Alang hampir sama dengan Tongkonan, yaitu diberi ragam hias ukiran pola khas Toraja dengan menggunakan tiga warna dari tanah liat yaitu merah,putih dan kuning serta warna hitam dari asap api yang melekat pada belangan dan di campur dengan panopi (kulit kayu) sebagai zat pelekat.
Upacara adat di Tana Toraja pun adalah upacara adat yang paling menarik dan unik, upacara Rambu Tuka’ dan upacara Rambu Solo’. Upacara Rambu Tuka’ atau upacara Rampe Matallo yang berasal dari kata Rambu atau asap, Tuka’ atau naik, Rampe atau bagian sebelah, Matallo atau timur. Upacara ini adalah upacara yang tergolong upacara sukacita atau syukuran atas segala berkat Tuhan (Puang Matua). Jenis-jenis upacara adat Rambu Tuka’ antara lain:
Yang pertama, upacara Mangrara Banua atau upacara pentahbisan rumah. Dalam upacara pentahbisan Tongkonan ini digunakan tiga macam darah hewan seperti kerbau, babi, dan ayam yang biasa disebut Mangrar Banua di Tallu Rarai. Mangrara Banua ada yang berlangsung tiga hari berturut-turut adapula yang hanya dalam satu hari. Kedua, upacara Merok yang merupakan upacara sakral sebagai kelengkapan dari upacara Mangrara Tongkonan. Di upacara ini di korbankan satu ekor kerbau tanpa cacat sanglego/sangpala serta ratusan ekor babi besar. Ketiga, upacara Ma’bua merupakan upacara Rambu Tuka’ yang  paling menarik dan paling besar. Diadakan sebagai syukuran besar dari satu keluarga karena telah dimampuhkan untuk melaksanakan jenis-jenis upacara baik Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’ yang lengkap. Keempat, Alukna Rampanan Kapa’, Sangka’na Passulean Allo atau upacara Perkawinan Adat. Kegiatan ini dimulai dengan peminangan, pembicaraan/penentuan ikatan hukum (dikapa’i) sampai ke pelaksanaan perkawinan. Dalam upacara ini dikorbankan beberapa hewan terutama babi. Kelima, Ma’bugi’ atau upacara syukur atas hasil panen yang berlimpah. Upacara ini diadakan sesudah terjadi wabah penyakit agar tidak terulang lagi. Keenam, Maro yang diadakan untuk menyembuhkan orang sakit yang di ganggu oleh roh halus dengan bantuan dukun dan kerumunan massal yang menari.

Disamping upacara sukacita, ada pula upacara dukacita yaitu upacara Rambu Solo’ atau upacara Rante Matampu (Solo’ atau turun dan Matampu’ atau barat). Dalam upacara Rambu Solo’ ada beberapa kegiatan yang dilakukan. Upacara ini paling menarik minat wisatawan baik nusantara terlebih mancanegara. Pada upacara ini berbagai tingkatan acara kegiatan dilaksanakan mulai dari Ma’tundan, Mebalun (membungkus jenazah), Ma’roto (pemberian ornamen dari benang emas dan perak pada bagian luar), Ma’popengkalao Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan). Selanjutnya diusung ke lapangan khusus yang dikenal dengan Ma’palao/ma’pasonglo’. Setiba di lapangan jenazah disemayamkan di tempat khusus yang disebut “Lakkean” yaitu sejenis bangunan panggung biasanya berlantai dua atau empat dan jenazah disemayamkan pada lantai teratas. Sepanjang upacara Rambu Solo’ terdapat banyak atraksi budaya yang sangat menarik diantaranya, Ma’pasilaga tedong (adu kerbau), Sisemba’ (adu kaki antar manusia yang dilakukan dengan sportif), tari-tarian yang berkaitan dengan ritual Rambu Solo’ misalnya, Ma’badong, Ma’katia, dan Ma’randing serta Ma’tinggoro tedong/Pantunuan (pemotongan kerbau dengan cara khas Toraja, yaitu dengan menebas leher kerbau menggunakan parang yang sangat tajam, panjang, dan sekali tebas saja). Semakin banyak kerbau yang dikorbankan berarti semakin tinggi pula derajat keluarga yang mengadakan pesta tersebut.
Setelah kegiatan-kegiatan tersebut selesai dilakukan, maka tibalah hari pemakaman yang disebut “Mewawa” dalam bahasa Toraja. Jenis tempat pemakaman (liang) di Toraja terdiri dari beberapa tipe yaitu, Liang Lo’ko’ (kuburan yang berupa gua alam), Liang Erong (kuburan dari batang kayu yang dipahat), Liang Pa’ (kuburan yang dipahat pada permukaan gunung batu terjal), dan Liang Patane/Banua tang Merambu (kuburan modern yang berbentuk rumah yang di bangun menggunakan semen dan beton).Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalan ke “Puya” (dunia arwah atau akhirat).
Dalam upacara Rambu Solo’ juga biasanya dapat kita temui “Tau-tau” atau patung orang mati yang di buat dari kayu nangka yang baik yang sudah berumur puluhan tahun yang di buat menyerupai roman muka orang yang meninggal tersebut. Tau-tau ini dibawa serta ke liang dan di tempatkan di atas balkon.
Upacara Ma’nene’ masih termasuk upacara Rambu Solo’ yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan merupakan upacara perkunjungan ke liang(kuburan) membawa korban hewan sembelihan serta mengganti pakaian jenazah serta pakaian Tau-tau. Tujuannya sebagai penghormatan yang tidak putus kepada para leluhur. Dalam upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ tidak lupa pula disajikan makanan tradisional yaitu ‘Pa’piong” yang berupa daging yang dimasak dalam bambu yang dicampur dengan “Bulunangko” atau dalam bahasa Indonesia disebut tumbuhan mayana, kemudian di panggang. Makanan ini pun banyak digemari oleh masyarakat setempat.
Di Tana Toraja adapula jenis-jenis seni tradisional misalnya tari-tarian seperti, Tarian Ma’gellu’, Tarian Ondo Samalele, Tarian Burake, Tarian Dao Bulan, Tarian Ma’dandan, Tarian Manimbong, Tarian Manganda’, Tarian Pa’bondesa, Tarian Memanna, Tarian Ma’badong, Tarian Ma’katia, Tarian Pa’randing, dan Tarian Pa’papanggan. Adapula seni Ma’dondi’ atau pantun berbalasan.
Musik tradisional daerah ini pun sangat beragam diantaranya, Passuling (suling), Pa’pelle’ atau Pa’barrung (sejenis terompet), Pa’bombang atau Pa’bas (musik bambu), Pa’karombi (dawai yang di sentak), Pa’tulali (bambu kecil), dan Pa’geso-geso (dawai yang di gesek).
Selain tarian dan musik tradisional adapula kerajinan-kerajian khas Toraja diantaranya, kerajian tenun Toraja yang sangat terkenal di daerah Sa’dan, Rongkong Mamasa, dan Simbuang (Toraja Barat). Bahan dasar untuk tenunan ini adalah kain yang ditenun dari benang dan kapas yang dipintal secara tradisional. Bahan pewarnanya pun berasal dari alam yaitu pelepah (pa’pak), biji serta daun-daun jenis tanaman tradisional tertentu. Tenunan Toraja telah banyak digunakan sebagai pakaian adat pada acara-acara besar seperti Rambu Tuka’ ataupun pada acara Festival Budaya Toraja.
Selain tenun adapula kerajinan merangkai manik-manik dan kerajianan membuat perhiasan tradisional dari bahan emas dan perak yang menghasilkan aksesoris dan bahan dekorasi seperti Kandaure, Sokkong Bayu, Ambero,Sa’pi’, dan Komba.  Dari bahan emas dan perak menghasilkan Gayang Bulaan (keris emas), Rara’ (kalung emas), Lola’ (gelang emas), Sissin (cincin), Tida-tida (anting-anting dari emas) dan Manik Kata (kalung).
Di Tana Toraja sendiri terdapat banyak objek wisata yang menarik, salah satu objek wisata yang paling menarik ialah pemakaman alam purba, seperti Ke’te’ Kesu’, Londa, kuburan bayi/ Passilliran Mangunda’pa Kambira, Bori Kalimbuang, Lemo Buntang, To’tarra’, Lo’ko Mata, Liang Tondon, Pala’tokke, Pongtimban serta banyak lagi.
Di daerah ini kita pun dapat melakukan olahraga yang menantang adrenalin seperti Rafting atau arung jeram, yang dapat kita nikmati di kecamatan Rinding Allo yang mempunyai sungai yang airnya deras dan di selingi batu-batu yang besar serta sepanjang tepian sungai dari hulu ke hilir diselimuti hutan alam yang asli dan lebat. Sangat asyik dan menarik serta menantang mencoba arung jeram ini.
Tidak salah orang menyebut Tana Toraja sebagai surga kedua.
Dengan begitu banyak keunikan daerah ini kita sebagai pemuda-pemudi Tana Toraja mesti bangga dengan warisan budaya yang begitu indah dan menarik ini.
Daerah ini begitu sangat memiliki potensi dalam hal pariwisata. Tidak salah bila kita harus menjaga dan mempertahankan warisan budaya leluhur kita ini serta hendak memperkenalkan Tana Toraja pada dunia luar.
Keunikan, kekreatifan, serta keramahan masyarakatnya menjadi salah satu pertimbangan banyaknya wisatawan yang hendak lalu lalang di “Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo” ini.
Talendu’ Opa”
      Kurre Sumanga’ Pole Paraya.


3 komentar: